Berikut ini beberapa tulisan yang akan membuat kita semua semakin mengenal Solo dengan lebih baik.
1. Dusun Sala dan Kraton Surakarta Hadiningrat
MENGGAH dhusun ingkang nama Sala punika sampun wonten ing Keraton Pajang, nalika jamanipun Kangjeng Sinuhun Sultan Hadiwijaya. Kamisepuh bebekeling dhusun punika Ki Gedhe Sala, pramila dhusunipun lajeng katelah aran nama dhusun Sala.(Babad Sala:RM Sajid)
Jauh sebelum pindahnya Keraton Kartasura, sebenarnya nama dhusun Sala (sekarang Solo) sudah lebih dahulu ada. Seperti apa yang diungkapkan RM Sajid, ketika zaman Kerajaan Pajang pun dusun itu telah sering disebut-sebut. Bahkan malah sudah sangat dikenal.
Pada saat itu, ketika masih belum menjadi kuthapraja Keraton Surakarta, sebenarnya wilayah dari Dhusun Sala juga sudah cukup luas. RM Sajid menggambarkannya dengan memberikan batasan-batasan yang kalau dilihat pada zaman sekarang bisa melintasi wilayah beberapa kecamatan (Pasar Kliwon, Banjarsari, Laweyan, dan Jebres). "Dhusun Sala punika wiyar tebanipun. Ingkang kangge wates kali kaliyan bengawan. Ing sisih eler Kali Pepe, ing sisih wetan Bengawan Beton. Mangidul dumugi dhusun Nusupan, ingkang sisih kidul Kali Wingka. Dene ing sisih kilen watesing garisipun menggak-menggok, wiwit saking Kali Pepe wingking gedung bioskop Purbayan, mangidul terus dumugi Gadhing terus mengidul dumugi kali wingka. Inggih punika ingkang dipun wastani dhusun Sala."
Dengan referensi yang demikian, maka usia dhusun Sala sebenarnya sudah mencapai 4 - 5 ratusan tahun. Mengapa demikian? Karena menurut sejarah yang ada, Keraton Pajang itu sudah ada sejak abad ke-16 atau sekitar tahun 1500-an Masehi.
Namun yang terjadi sekarang, hari jadi Kota Solo justru diperingati dengan berpijak pada perpindahan Keraton Kartasura ke dusun tersebut pada 17 Februari 1745. Tentu saja itu menjadi menarik, mengingat jauh sebelumnya dhusun Sala sebenarnya sudah ada. Setidaknya, mungkin akan timbul pertanyaan, mengapa kemudian hari jadinya tidak diperingati dengan mencari data sebelum pindahnya Keraton Kartasura.
Tentang hal tersebut, kurator Museum Radyo Pustoko Drs Mufti Rahardja memberikan alasannya. "Hal itu terkait dengan apa yang disampaikan SISKS Paku Buwono (PB) II ketika kali pertama menempati Keraton Surakarta," paparnya. Menurut dia, pada 17 Februari 1745 yang jatuhnya pada hari Rabu Kliwon tersebut, PB II bertitah yang intinya, sejak saat itu meminta dhusun Sala untuk diganti dengan nama Surakarta Hadiningrat. "Saat itu Sinuhun ngandika, dina iki desa Sala tak pundhut, tak ganti dadi Surakarta Hadiningrat," ujar Mufti.
Hari saat munculnya titah itulah yang menurut dia menjadi rujukan. Kemudian, setiap tanggal tersebut digunakan sebagai peringatan hari jadi Kota Solo. Meski sebenarnya jauh sebelum itu nama dhusun Sala sudah ada, bahkan sudah berkembang pesat. (sumber: Wisnu Kisawa - Suara Merdeka)
2. Beringin Simbol Kebesaran Raja
POHON ini memang tak seperti lazimnya pohon-pohon lain. Bukan saja karena umurnya yang bisa mencapai ratusan tahun atau selalu dikaitkan dengan mitos wingit pada setiap keberadaannya, melainkan pohon ini memang menyimpan sejarah tentang simbolisme kebesaran seorang raja. Ya, puluhan hingga ratusan tahun lalu, ketika para raja masih mempunyai otoritas penuh atas kekuasaan wilayah kerajaannya, beringin pernah menjadi bukan sembarang pohon.
Tak percaya, cobalah simak Perjanjian Salatiga yang menjadi cikal bakal berdirinya Pura Mangkunegaran pada 1757. Dalam perjanjian tersebut diungkapkan, Pangeran Sambernyawa atau Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Ario (KGPAA) Mangkunegara I, diberi wewenang untuk mendirikan kerajaan (Pura Mangkunegaran). Namun hal itu dengan beberapa syarat, salah satunya beliau tidak diperkenankan menanam pohon beringin.
Dari apa yang terungkap dalam perjanjian itu, jelaslah sudah betapa pada saat itu pohon beringin ditempatkan secara khusus, yakni sebagai simbol kebesaran seorang raja. Karena itu, ketika Pura Mangkunegaran berdiri tetapi masih di bawah kekuasaan Keraton Surakarta Hadiningrat, penguasa Pura tidak diperkenankan menanam pohon yang umurnya bisa mencapai ratusan tahun tersebut.
Cerita lain yang mengungkapkan pohon beringin sebagai simbol kebesaran raja, juga terdapat dalam buku Sri Radya Laksana karangan Mas Ngabei Prajaduta. Simaklah apa yang terungkap dalam buku tersebut, ketika Ingkang Sinuhun Kanjeng Susuhunan (ISKS) Paku Buwono II memberikan sabda kepada Patih Pringgoloyo, sebelum Keraton Surakarta Hadiningrat diresmikan sebagai kerajaan baru menggantikan Kerajaan Kartasura yang telah hancur karena Geger Pacinan. "Tatanen kagungan-ingsun waringin kembar Tejadaru-Jayadaru lan apa adate nagara madeg anyar (Tatalah (tanamlah) pohon beringin kembar Tejadaru-Jayadaru milik saya, layaknya seperti negara yang baru berdiri)."
Titah ISKS Paku Buwono II kepada Patih Pringgoloyo itu menjadi bukti penanaman pohon beringin sesuatu yang wajib dan lazim dilakukan ketika ada sebuah kerajaan baru berdiri. Hal itu sekaligus membuktikan pohon tersebut memang menjadi simbol kebesaran raja. Karena itu, mungkin karena pengaruh legitimasi raja yang begitu kuat, tidak sembarang orang kemudian berani menanam pohon tersebut. Jangankan masyarakat biasa, seorang adipati seperti KGPAA Mangkunegara I sekalipun juga tidak berani karena memang tidak diperkenankan.
Hingga sekarang, masih banyak masyarakat Jawa yang mempercayai mitos seputar simbolisme tersebut. Yang terjadi kemudian, masyarakat seperti enggan menanam pohon beringin. Akibatnya, pohon yang akarnya tumbuh sampai ke dahan itu tidak dijumpai di sembarang tempat seperti pohon-pohon lain. (sumber: Wisnu Kisawa - Suara Merdeka)
3. Gapura, Bukti Pesatnya Pembangunan Keraton
TAK bisa dipungkiri, masa pemerintahan Sampeyandalem Ingkang Sinuhun Kangjeng Susuhunan (SISKS) Paku Buwono (PB) X antara tahun 1893-1939, adalah masa-masa puncak dari maraknya pembangunan fisik di Keraton Surakarta Hadiningrat.
Tak percaya? Lihatlah, sekian banyak bukti yang sampai sekarang masih bisa disaksikan, sekaligus menjadi saksi bisu tentang sejarah tersebut. Antara lain gapura yang berdiri di berbagai tempat yang ada di wilayah Kota Solo. Sebut saja Gapura Gladag, Gapura Klewer, Gapurendra (Pasar Gading), Gapura Masjid Agung, Kori Brajanala Lor, Kori Brajanala Kidul (keduanya sering disebut sebagai lawang gapit), dan masih banyak lagi gapura-gapura yang lainnya.
Dan, sedikit-banyak berbicara tentang pesatnya pembangunan fisik yang pernah terjadi pada saat keraton dipimpin Sinuhun PB X.
Jika ingin lebih jelas lagi, seorang penulis sejarah bernama RM Sajid juga menjelaskan dalam bukunya yang berjudul Babad Solo. Buku tersebut banyak mengungkap sejarah pembangunan sejumlah gapura yang terjadi antara tahun 1893-1939.
Dalam Babad Solo RM Sajid mengungkapkan, Gapura Gladag dibangun pada 1930. Gapura itu merupakan pisungsung dari orang Eropa yang tinggal di wilayah Keraton Surakarta. Sekaligus untuk kado wiyosan dalem yang genap berumur 48 tahun. "Dene pambikaipun gapura ing peken Gading nama Gapurendra, ing dinten Rebo kaping 22 juni 1938. (Adapun pembukaan gapura Gading bernama Gapurendra pada hari Rabu 22 Juni 1938)," tulisnya. Sementara itu, untuk peresmian Gapura Pasar Klewer dilakukan pada Rebo Pahing 8 Maret 1939 (17 Sura tahun 1870 Je). Sebelum itu, telah dibangun pula Gapura Masjid Agung yang kemudian diresmikan pada Selasa 25 Juni 1901 (6 Mulud tahun 1831 Dal).
Kini, keberadaan gapura tersebut menjadi jati diri tempatnya. Misalnya Gapura Gladag, yang sekarang namanya juga untuk mengabadikan tempatnya. "Ing sajumenengipun-dalem Paku Buwono kaping X, ing salebeting karaton kathah dalem ingkang kabangun enggal utawi kamulyakaken," begitu RM Sajid menandaskan. (sumber: Wisnu Kisawa - Suara Merdeka)
4. Masjid Keraton Diilhami Bangunan Masjid Demak
KERUNTUHAN Kasultanan Demak sebagai kerajaan Islam pertama, tidak berarti meruntuhkan perkembangan Islam di Tanah Jawa. Justru yang terjadi sebaliknya, penyebaran agama tersebut semakin berkembang dengan pesat. Karena itu jangan heran kalau pada zaman kerajaan-kerajaan sesudah masa Kasultanan Demak, sudah begitu banyak orang mengenal dan menganut Islam. Bahkan di kalangan bangsawan sekalipun, termasuk para raja yang menduduki takhta.
Demikian juga yang terjadi pada masa awal berdirinya Keraton Kasunanan Surakarta, sekitar abad 18. Betapa perkembangan Islam sudah sedemikian kuat merasuk dalam kehidupan para bangsawan keraton dan masyarakat. Beberapa bukti yang hingga sekarang masih ada menguatkan hal tersebut. Salah satunya adalah Masjid Agung Keraton Kasunanan Surakarta. Masjid yang berada di sebelah barat Alun-alun Lor itu merupakan masjid yang dibangun pihak keraton, sekaligus menjadi saksi pesatnya perkembangan penyebaran Islam pada masa awal berdirinya keraton saat itu.
Dalam buku berjudul Masjid Agung Keraton Kasunanan Surakarta diungkapkan, masjid itu dibangun pada masa Ingkang Sinuwun Kanjeng Susuhunan (ISKS) Paku Buwono (PB) III pada 1745. Atau dibangun 11 tahun sesudah Keraton Kasunanan Surakarta berdiri di Desa Solo.
Diungkapkan pula, rancangan arsitektur dalam pembangunannya dilihami dari bentuk bangunan Masjid Demak. Hal itu memang disengaja. Sebab perintah raja saat itu memang demikian. "Raja (PB III) sangat terkesan dengan bentuk bangunan Masjid Demak. Karena itu, saat membangun masjid, beliau menginginkan bentuk yang sama," demikian yang tertulis dalam buku tersebut.
Maka berdirilah sebuah masjid yang sama bentuknya dengan Masjid Demak. Yakni berbentuk joglo serta beratap susun tiga yang melambangkan kesempurnaan manusia (muslim) dalam menjalani kehidupannya, yakni Islam, Iman, dan Ikhsan (amal).
Selanjutnya, seiring dengan pergantian generasi raja berikutnya, Masjid Agung mengalami beberapa penambahan dan perbaikan. Di antaranya, di depan masjid dibangun serambi dan di samping dibangun pawastren (tempat jamaah putri). Bahkan pernah pada 1856 dipasang kubah yang terbuat dari emas. Namun karena ada yang jahil mencurinya sebagian, kubah tersebut terpaksa diturunkan untuk disimpan di museum. (sumber: Wisnu Kisawa - Suara Merdeka)
5. Ngigelnya Bidadari, Jadilah Tarian Bedhaya
KETIKA para dewa tengah bersantai, dipanggilah tujuh bidadari untuk mataya (menari). Maka, meliuklah Dewi Supraba, Wilutama, Warsiki, Surendra, Gagarmayang, Irim Irim, dan Tanjung Biru, sambil menyisiri tepian laut yang ada di Kahyangan Suralaya. Saat tujuh bidadari itu tengah menari, dewa kembali memerintahkan agar para bidadari mbadhaya, atau menari sambil membuat formasi berjajar. Sambil diiringi kidung (tembang) yang dilagukan para dewa, bidadari pun melakukan apa yang diperintahkan tersebut.
Itulah awal mula dari kemunculan tarian Bedhaya menurut buku berjudul Ringkesan Carita Dumadining Para Widadari Terus Dadi Pamatayaning Badhaya (Jogeding Badaya), karangan RM Sajid. Ya, itulah awal sebelum dua dewa yakni Bathara Brahma dan Bathara Indra menganjurkan agar tarian tersebut untuk upacara ritual penghormatan bagi para dewa. Iringanya pun tak lagi hanya kidung, tetapi ditambah dengan Gamelan Lokananta yang hanya ada di kahyangan tersebut.
"Gamelan lokananta punika racikanipun saking gendhing, kala, sangka, pematut, lan sauran (Gamelan Lokananta itu unsurnya terdiri atas gendhing (kemanak), kala (kenong), sangka (kethuk), pematut (kendang), dan sauran (gong)," tulis RM Sajid dalam buku tersebut. Perkembangannya tarian sakral itu terus dilestarikan oleh para raja-raja Jawa. Mulanya dilakukan di pelataran-pelataran candi, lalu merambah masuk ke istana. Hingga sekarang, tari bedhaya masih tetap ada dan masih sering dipentaskan di berbagai kesempatan.
Namun, ragam dan jenisnya menjadi bertambah dan bahkan telah mencapai belasan. Hal itu disebabkan adanya kebiasaan raja yang naik tahta selalu membuat tarian tersebut. Namun, khususnya di Solo, tercatat masih ada dua jenis tari bedhaya yang masih dianggap sakral dan wingit oleh pihak Keraton dan sebagian masyarakat Jawa. Keduanya yakni "Bedhaya Ketawang" di Keraton Kasunanan Surakarta dan "Bedhaya Anglir Mendhung" di Pura Mangkunegaran.
Dua jenis tarian tersebut sekarang difungsikan untuk acara peringatan Tingalan Jumenengan Dalem (peringatan saat raja naik tahta). "Bedhaya Ketawang" untuk memperingati saat Ingkang Sinuwun Kanjeng Susuhunan (ISKS) Paku Buwono X, naik tahta, sedangkan "Bedhaya Anglir Mendhung" untuk memperingati saat Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Ario (KGPAA) Mangkunegoro IX, naik tahta.
Jumlah penarinya juga tak tujuh seperti saat ditarikan para bidadari. Penari bedhaya sekarang jumlahnya sembilan orang, yang akan memerankan posisi batak, gulu, dada, endel ajeg, buncit, dan lainya yang kesemuannya mengandung makna simbolis. (sumber: Wisnu Kisawa - Suara Merdeka)
6. Radyopustoko, Saksi Bisu Lembaga Ilmu Pengetahuan di Keraton
MUSEUM yang berada di Kawasan Taman Sriwedari Solo ini, dulunya bernama Paheman Radyopustoko. Dari arti katanya, paheman berarti institusi atau lembaga, radyo adalah bangsa atau negara, sedangkan pustoko adalah pusat reverensi."Maka kalau dimaknai secara keseluruhan, kurang lebih artinya lembaga ilmu pengetahun semacam LIPI. Hanya, yang ini milik Keraton Surakarta dan sudah ada jauh sebelum kemerdekaan," tandas Mufti Rahardjo, Kurator museum tersebut, kemarin.
Menurutnya, Paheman Radyopustoko didirikan oleh KRA Sosrodiningrat IV pada 25 Oktober 1890. Sosrodiningrat adalah Pepatihdalem dari Sampeyandalem Ingkang Sinuhun Kanjeng Susuhunan (SISKS) Paku Buwono (PB) IX, Raja Keraton Surakarta Hadiningrat yang berkuasa antara tahun 1861 hingga tahun 1893.
"Awalnya Paheman Radyopustoko itu tidak di sini tempatnya, tetapi di Dalem Kepatihan yang sekarang menjadi Kantor Kejaksaan Negeri Surakarta dan sebagian lagi digunakan untuk sekolah menengah kejuruan negeri (SMKN) 8 Surakarta. Baru pada 1 Januari 1913, lembaga keraton itu dipindah ke Sriwedari," tuturnya.
Mufti mengatakan, Paheman Radyopustoko itu tidak hanya museum dan perpustakaan. Bahkan, menurut dia, museum dan perpustakaan tersebut sekadar pelengkap. Sebab, justru yang lebih penting lagi tentang kegiatan pusat studi. "Ada semacam diskusi atau sarasehan yang selalu diselenggarakan. Materi bersifat umum, mulai dari sastra, seni, sejarah, budaya hingga pengetahuan umum," ujarnya.
Ketika pindah ke Sriwedari, fungsi pusat studi itu masih berjalan dengan baik. Bahkan untuk kegiatan pusat studi tersebut, dulu disediakan dua paviliun yang terletak di sebelah barat dan timur museum. Di sebelah barat sekarang menjadi Graha Wisata, sementara disebelah timur dibangun Pujasari. Ketika masih menjadi paheman, yang mengelola adalah para abdi dalem keraton. Begitupun setelah Negara RI terbentuk, keraton masih turut terlibat. Meskipun, kemudian juga dibantu oleh yayasan (terbentuk beberapa tahun setelah kemerdekaan) dan juga pemerintah.
Namun mulai era 1960-an dan 1970-an, dengan mulai berkurangnya para pengurus paheman yang disebabkan meninggal dunia, lama-lama tinggal museum dan perpustakaan yang tersisa. Museum dan perpustakaan itulah yang masih bertahan hingga sekarang. Radyopustoko pun kemudian berubah menjadi museum umum, yang memiliki beberapa koleksi. Antara lain arkeologia seperti arca batu dan perunggu, keramika dari eropa tiongkok ataupun nusantara; tosan aji yang berupa benda-benda pusaka, naskah, nunismatika atau mata uang kuno, etnografika atau peralatan hidup zaman dulu; dan juga historika atau benda-benda sejarah (sumber: Wisnu Kisawa - Suara Merdeka).
7. Ngliga dan Kekeramatan Wilayah Keraton
MANUT tatanan Keraton Surakarta, sadaya tiyang ingkang lumebet ing keraton jaler lan estri kedah netepi pranatan rikala zaman kina. Sepenggal kalimat yang tertulis dalam Pranatan Badhe Lumebet Ing Keraton Ing Zaman Kina dari buku berjudul Babad Solo karangan RM Sajid.
Barangkali itu bukan sekadar merujuk tentang pranatan, lebih dari itu juga mengungkap tentang kekeramatan suatu wilayah.
Ya, sebagaimana yang terungkap dalam perjalanan sejarahnya (bahkan sekarang mungkin masih berlaku), keberadaan keraton memang telah ditempatkan dalam wilayah khusus bagi masyarakatnya. Peraturan dan tata cara masuk ke keraton tersebut adalah salah satu yang sedikit banyak mengungkapkan tentang hal tersebut. Menariknya, aturan itu tidak hanya merujuk pada sikap, namun juga sampai pada cara berpakaian. Mengenai hal tersebut, dalam buku itu RM Sajid mencoba menguraikan lebih lanjut tentang apa saja pranatan itu. "Pangageming utawi pangangge miturut darajad pangkatipun piyambak-piyambak." (Cara memakai busana menurut derajat pangkat dari masing-masing.)
Dengan aturan tersebut, maka bisa saja pakaian putra sentana berbeda dengan seorang bupati. Demikian pula antara bupati dengan panewu, mantri sampai lurah. Karena semuanya memiliki ciri sesuai dengan peraturannya.
Meski memiliki ciri khas yang berbeda, ada satu hal yang cukup menarik di antara perbedaan tersebut, yakni ketika semuanya harus berlaku ngliga atau bertelanjang dada (perempuan dengan memakai kemben) di setiap kali akan masuk ke dalam keraton. "Sadaya tiyang boten kepareng ngangge rasukan, kedah cucul rasukan. Wiwit para abdi dalem ingkang pangkat inggil saha para putra sentana dalem, mengandhap dumugi tiyang limrah." (Semua orang tidak boleh memakai baju, harus bertelanjang dada. Mulai dari abdi dalem yang berpangkat tinggi hingga putra sentana dalem ke bawah sampai masyarakat biasa.").
Demikianlah adanya, saat sebuah tempat telah ditempatkan dalam wilayah khusus. Ngliga boleh jadi bukan sekadar memenuhi peraturan, namun juga bisa diartikan sebagai sebuah penghormatan tentang kekhususan suatu tempat. (sumber: Wisnu Kisawa - Suara Merdeka)
8. Bengawan Solo Dahulu Bernama Bengawan Beton
JAUH sebelum Keraton Surakarta Hadiningrat berdiri, atau tepatnya pada zaman Mataram, tersebutlah sebuah dusun bernama Nusupan. Dusun itu terletak di sebelah tenggara Desa Sala, wilayah yang kemudian menjadi tempat perpindahan Keraton Kartasura.
Letak geografis dusun tersebut sangat unik. Dalam buku Babad Solo karangan RM Sajid disebutkan, ada sungai besar yang dinamakan Bengawan Beton membelah wilayah dusun itu menjadi dua bagian. Lalu di antara tepian bengawan yang membelah dusun itu terdapat sebuah bandar atau pelabuhan sungai. Pelabuhan itulah yang membuat Dusun Nusupan sangat ramai. Apalagi ketika pelabuhan itu menjadi sarana perdagangan para saudagar dari Gresik dan Surabaya yang menuju Kutha Gedhe (ibu kota Mataram). Atau sebaliknya, sebagai sarana transportasi para saudagar dari Kutha Gedhe yang ingin berdagang ke Gresik dan Surabaya. "Kawontenan makaten punika ngantos dumugi ing jaman Kartosura tuwin ngantos dumugi Surakarta. Saderengipun wonten sepur. (Keadaan seperti itu berlangsung hingga zaman Kartasura [Keraton Kartasura] serta hingga zaman Surakarta Keraton Surakarta Hadiningrat)," papar RM Sajid dalam buku tersebut.
Saat itu Desa Sala dipimpin seorang bekel bernama Kyai Gedhe Sala. Karena Dusun Nusupan termasuk wilayah Desa Sala, Kyai Gedhe Sala kemudian diberi wewenang menarik pajak terhadap orang-orang, terutama para saudagar yang setiap hari memanfaatkan pelabuhan tersebut.
Semakin lama pelabuhan itu kian ramai. Banyak saudagar yang melakukan jual beli di tempat tersebut. Selain itu, banyak pula masyarakat yang membangun rumah di sekitar tepian bengawan.
Dalam perkembangannya nama bengawan kemudian berubah. "Sasampunipun kondhang dumugi sanes nagari, nama Bengawan Beton lajeng santun nama gantos ngangge nama bebekel ngriku. Lajeng kaaran Bengawan Sala (Setelah terkenal hingga ke negara lain, nama Bengawan Beton lalu berubah nama berganti dengan nama bekel di situ. Lalu disebut Bengawan Sala [sekarang sering dilafalkan orang dengan Bengawan Solo])," jelas RM Sajid.
Itulah sekelumit sejarah tentang nama Bengawan Solo, sungai besar yang sekarang menjadi trademark Kota Solo. (sumber: Wisnu Kisawa - Suara Merdeka)
9. Prangwedanan, Kisah Pingitan sebelum Pangeran Naik Tahta
RUMAH tua yang berada di sisi timur Pura Mangkunegaran (dekat pintu masuk sebelah timur) itu tampak sepi. Hanya ada beberapa foto para bangsawan tergantung di dinding dan seperangkat gamelan di lantai pendapa. Selebihnya, selain beberapa tukang becak yang tengah mangkal di depan halaman, hampir tak terlihat aktivitas di tempat tersebut.
Berkesan sunyi memang situasi di Prangwedanan, salah satu bagian dari kawasan Pura Mangkunegaran, saat ini. Namun siapa sangka, meski kini lebih sering terlihat sepi, tempat tersebut telah menyimpan kisah sejarah panjang tentang para pemimpin Pura Mangkunegaran. Demikianlah, Prangwedanan adalah saksi bisu dari kehidupan para pangeran sebelum naik tahta di istana tersebut. Hal itu seperti yang terungkap dalam buku Babad KGPAA Prangwadana VII yang dikarang oleh Mulyohutomo pada 1983.
Menurut buku tersebut, rumah dengan arsitektur Jawa itu dulu menjadi tempat tinggal para pangeran yang akan menduduki tahta adipati di Pura Mangkunegaran. Biasanya pangeran yang sudah tinggal di tempat tersebut akan bergelar Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Aria (KGPAA) Prangwadana. Itulah mengapa kemudian rumah itu disebut dengan Prangwedanan, karena nama suatu tempat memang berkaitan dengan bangsawan yang menempatinya.
Seperti yang dijelaskan oleh Mulyohutomo dalam bukunya, tradisi para putra mahkota tinggal di Prangwedanan itu sudah mulai dilakukan semenjak ratusan lalu, termasuk pada masa-masa kelahiran negara RI, yakni pada zamannya KGPAA Mangkunagoro VII (1916-1944).
Lantas mengapa putra mahkota itu harus tinggal di rumah tersebut? Menurut sejarah, hal itu berkaitan dengan persiapan pangeran sebelum dikukuhkan untuk naik tahta. Di tempat itulah calon adipati pura itu dipingit untuk kemudian digembleng menjadi seorang pemimpin.
Namun kini, kisah pingitan itu tinggal kenangan. Sebab dalam perkembangannya kemudian, terjadi pergeseran fungsi rumah tersebut, terutama semenjak lunturnya otoritas Pura Mangkunegaran bersamaan dengan terbentuknya Negara Republik Indonesia (1945). Seperti dikatakan RT Soenarso Ponco Sucitro, Bupati Anom Mandrapura, Prangwedanan mulai saat itu sudah tak lagi menjadi tempat tinggal para bangsawan. Bahkan sekarang sudah menjadi area publik, baik bagi masyarakat dari dalam maupun dari luar pura. (sumber: Wisnu Kisawa - Suara Merdeka)
10. Riwayat Kehancuran Taman Sriwedari Solo
KOTA Solo dalam konsep budaya Jawa tradisional adalah sebuah negara gung yang berpusat di Keraton Surakarta. Sebentuk negara agung warisan dinasti Mataram dengan fasilitas perkotaan serba lengkap bagi kepentingan raja dan keluarganya.
Salah satu peninggalan Sunan Paku Buwono (PB) X adalah sebuah taman rekreasi keluarga raja yang diberi nama Taman Sriwedari. Nama yang diambil dari legenda pewayangan dalam kisah Sumantri Ngenger.
TAMAN Sriwedari adalah nama yang digunakan masyarakat umum terutama dari luar Kota Solo. Sedangkan orang-orang pedesaan di sekotar Kota Solo, lebih mengenal Taman Sriwedari dengan sebutan Kebon Rojo dan sering dilafalkan Bonrojo. Sebuah taman rekreasi yang dibangun Sunan PB X dan menjadi ikon Kota Solo di masa lampau.
Para pengunjung Kota Solo terutama yang datang dari pedesaan, merasa tidak lengkap sebelum singgah ke Taman Sriwedari alias Bonrojo. Wayang orang dan gajah Kiai Anggoro yang disakralkan begitu populer di mata masyarakat. Hampir setiap malam, panggung wayang orang tak pernah sepi penonton, bahkan banyak yang rela bergelantungan di kawat dinding gedung pertunjukan.
Sedangkan gajah Kiai Anggoro yang merupakan klangenan (kegemaran) Sunan PB, sangat digemari anak-anak. Di antara anak-anak yang menderita sakit, ada orang tua yang bernadar untuk membawa anaknya menonton gajah setelah sembuh. Di kandang gajah itu, para orang tua mencolek kotoran gajah dan mengoleskannya ke dahi si bocah sebagai pemenuhan nadar.
Memudarnya pamor Keraton Surakarta yang kini tinggal menjadi semacam simbol budaya dan tradisi bagi masyarakat Solo, juga diikuti meredupnya popularitas Taman Sriwedari. Masa kejayaan Bonrojo yang identik dengan kebun binatang, pertunjukan wayang wong, ketoprak, bioskop, pentas musik keroncong dan lain-lain, mengalami keruntuhan setelah satu persatu isi taman itu tersingkir.
Berpindahnya kebun binatang dengan maskot gajah Kiai Anggoro ke Taman Jurug, merupakan awal kehancuran Taman Sriwedari. Orang-orang desa yang dahulu kala selalu ke Bonrojo untuk menonton gajah yang disakralkan, akhirnya tak ada lagi yang menginjakkan kaki ke Taman Sriwedari. (Sumber: Tok Suwarto - Pikiran Rakyat)
11. Pasar Gede, Pasar Bertingkat Pertama Di Indonesia
MENURUT RM Sajid dalam buku berjudul Babad Sala, meski di Kota Solo banyak terdapat pasar, tak ada yang menyamai pasar itu. Begitulah Pasar Gede Solo, yang sampai sekarang masih tetap tumbuh dan berkembang sebagai salah satu pasar tradisional.
Boleh jadi, apa yang dikemukakan oleh penulis buku tersebut bukanlah sekadar membesar-besarkan. Setidaknya, ada beberapa hal yang menengarainya. Yaitu di antaranya, sejarah pada awal-awal 1900-an Masehi yang telah turut mengiringi perjalanan itu.
"Kajawi kathah griya los-losanipun ingkang ageng-ageng, pasaripun lumintu saben dinten boten wonten gothangipun. Bibaripun tiyang sesadeyan kirang langkung jam gangsal sonten. (Selain banyak ruko-ruko yang besar-besar, pasarnya setiap hari selalu ramai. Selesainya orang berdagang, kurang lebih pukul 17.00)," papar RM Sajid dalam buku tersebut.
Itulah, di antara beberapa tengara yang sesuai dengan namanya, kemudian membuat Pasar Gede benar-benar menjadi besar. Bandingkan dengan pasar lain, yang tingkat keramainnya dipengaruhi oleh hari pasaran. Misalnya Pasar Legi, Pasar Kliwon, dan Pasar Pon.
Di sisi lain, yang juga menjadi bukti tentang kebesaran pasar tersebut, adalah dengan sudah diberlakukannya sistem jual dan sewa terhadap ruko maupun tempat lain untuk berjualan. Sebuah sistem yang menurut penulis masih belum umum pada saat itu.
Ada sebuah fenomena lagi, yang kemudian semakin mengukukuhkan keberadaan Pasar Gede Solo. Itu terjadi pada 1927, saat Sampeyandalem Ingkang Sinuhun Kangjeng Susuhunan (SISKS) Paku Buwono (PB) X merehab bangunan pasarnya.
Ya, karena dengan pembangunan ulang itulah, muncul sejarah pasar tradisional yang bukan hanya untuk tataran wilayah Kota Solo, namun seluruh Indonesia. Betapa tidak, jika dengan pembangunan ulang tersebut, pasar itu kemudian menjadi pasar pertama bertingkat di Indonesia. "Nalika 1927, Pasar Gedhe wau dipun dandosi sae kanti waragat ingkang boten sekedhik, inggih punika 300 ewu gulden. Lajeng dados peken sepisanan ingkang tumpuk kalih. (Pada 1927, Pasar Gede itu dibangun ulang dengan biaya yang tidak sedikit, yakni 300 ribu gulden," tandasnya.
Demikianlah, di antaranya, sejarah yang mengiringi Pasar Gede. Kini, pasar tersebut masih tetap tumbuh dan berkembang. Meski pada 1998 pernah dilalap api, dua tahun kemudian pasar itu kembali dibangun dengan tetap mempertahankan bentuk arsitektur aslinya. (sumber: Wisnu Kisawa - Suara Merdeka)
12. Solo, Kota Jajan Yang Tak Pernah Tidur
APA yang ada di benak Anda, ketika melewati Jl Dokter Moewardi di kawasan Kota Barat Solo di waktu malam? Di antara berbagai aktivitas yang mewarnai kehidupannya, tentu saja yang paling menyita perhatian adalah banyaknya warung makan di sepanjang jalan tersebut. Bagai memiliki dua rupa, antara siang dan malam, kawasan tersebut memang terlihat sungguh berbeda. Sisi-sisi jalan yang biasanya terlihat sepi di waktu siang, akan berubah menjadi padat ketika datang malam sebab dipenuhi dengan berbagai jenis warung makan.
Pemandangan yang terjadi di Kota Barat tersebut, hanyalah sebagian di antara maraknya pusat jajan di Kota Bengawan. Sebab, masih banyak kawasan lain yang juga memiliki kondisi serupa di waktu malam. Sebut saja kawasan Jalan Slamet Riyadi, Adi Sucipto, dan Piere Tendean.
Begitulah, memang. Selain dikenal dengan predikatnya sebagai Kota Budaya, Solo sebenarnya juga bisa disebut sebagai "kota jajan". Bahkan, dalam kaitannya dengan sebutan tersebut, kehidupan di kota Solo hampir tak mengenal batas waktu: siang maupun malam.
Lihat saja, ketika ada sejumlah warung makan yang justru mulai buka pada dini hari. Misalnya Gudeg Ceker Bu Kasno, Margoyudan, yang berada di kawasan Jalan Wolter Monginsidi. Warung makan yang cukup terkenal hingga keluar daerah itu, malah mulai buka dini hari sekitar pukul 02.00.
Dengan kondisi seperti itu, tak mengherankan jika berkait dengan "kota jajan" tersebut Solo berkesan seperti tak pernah tidur. Tak peduli siang atau malam, yang namanya warung makan akan selalu silih berganti hadir mewarnai kehidupan kotanya.
Menariknya, kesemarakan warung makan di berbagai tempat tersebut bukan hanya sekadar memanjakan masyarakat, namun juga menjadi semacam ciri khas Kota Solo. Ya, ciri khas sebagai "kota jajan" yang tak pernah tidur. Selain soal rasa, hal lain yang membuat orang selalu tertarik datang ke Kota Budaya itu adalah banyaknya pilihan jenis warung makan.
Mulai dari makanan tradisional seperti gudhangan dan trancam, hingga makanan modern semacam hamburger pun ada. Mulai dari makanan berat dengan menggunakan nasi, sampai hanya sekadar warung wedangan juga ada. Menariknya lagi, itu bisa didapatkan di sembarang tempat. Di Solo, memang banyak jenis makanan yang bisa menjadi alternatif ketika perut sedang lapar. Tinggal pilih saja, mana warung yang dikehendaki. Kapan saja waktunya, bisa: mau siang atau malam. (Dari berbagai sumber)
31 Maret 2009
Tentang Solo
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar