01 April 2009

Solo Monumental

Banyak event dan organisasi memulai perjalanan mereka di kota Solo. Sebut saya diantaranya Syarikat Dagang Islam, Pekan Olahraga Nasional (PON), Perwatuan Wartawan Indonesia (PWI), Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) dll. Belum lagi jika kita sebutkan juga keberadaan Museum Radyapustaka sebagai museum tertua di Indonesia.
Banyak pula seni budaya yang menemukan habitatnya dan berkembang pesat di Solo yang turut mewarnai kehidupan masyarakatnya. Sebut saja seni wayang (kulit maupun orang), ketoprak, keroncong, tari-tarian dan gamelan kerawitan, keroncong sampai seni membuat batik, keris dan gamelan. Walaupun

banyak diantara seni tersebut juga dihasilkan dari daerah lain, yang dihasilkan kota Solo hampir selalu dianggap sebagai yang paling halus, mengandung nilai-nilai dan berfilosofi tinggi yang tentu saja menjadikannya yang terbaik.
Dengan mengemukakan hal-hal yang telah diuraikan di atas, kota Solo telah menulis suatu riwayat di berbagai bidang dan hal ini akan terpatri sepanjang masa dalam sejarah bangsa Indonesia. Menggembirakan, Kota Solo dengan berbagai riwayatnya telah menjadi kota kenangan dan harus selalu dikenang.
Berikut ini sedikit uraian tentang hal-hal tersebut:
1. PON (Pekan Olahraga Nasional)
Pada bulan Januari 1946, bertempat di Hadiprojo di kota Solo diadakan kongres olahraga yang pertama di alam kemerdekaan. Berhubung dengan suasana pada masa itu, kongres ini hanya dihadiri oleh tokoh-tokoh olahraga dari pulau Jawa saja. Kongres tersebut berhasil membentuk suatu badan olahraga dengan nama Persatuan Olahraga Republik Indonesia (PORI) dengan pengakuan pemerintah, sebagai satu-satunya badan resmi persatuan olahraga yang mengurus semua kegiatan olahraga di Indonesia.
Dalam kongres ini pada mulanya juga dimajukan dua nama lain, yang akan diberikan kepada badan olahraga yang bakal dibentuk tersebut, yaitu ISI dan GELORA, tetapi keduanya tidak banyak dipilih oleh peserta kongres.
Sesuai dengan fungsinya, PORI juga berperan sebagai koordinator semua cabang olahraga dan khusus mengurus kegiatan-kegiatan olahraga dalam negeri. Dalam hubungan tugas keluar, berkaitan dengan Olimpiade dan International Olympic Committee (IOC), Presiden R.I. telah melantik Komite Olympiade Republik Indonesia (KORI) yang diketuai oleh Sultan Hamengku Buwono IX dan berkedudukan di Yogyakarta.
Bagi Indonesia telah tiba saatnya untuk menempuh langkah-langkah yang diperlukan, agar dapat ikut serta di Olimpiade - London pada tahun 1948. Olimpiade yang ke 14 ini adalah yang pertama setelah PD II usai dan sejak tahun 1940 terpaksa ditiadakan selama delapan tahun. Usaha Indonesia untuk mendapat tiket ke London banyak menemui kesulitan. PORI sebagai badang olahraga resmi di Indonesia belum menjadi anggota, International Olympic Committee (IOC), sehingga para atlet yang bakal dikirim tidak dapat diterima berpartisipasi dalam peristiwa olahraga sedunia.
Pengakuan dunia atas kemerdekaan dan kedaulatan Indonesia yang belum diperoleh pada waktu itu juga menjadi penghalang besar dalam usaha menuju London. Paspor Indonesia tidak diakui oleh Pemerintah Inggris. Atlet Indonesia bisa ikut ke London dengan memakai paspor Belanda, hal yang tidak dapat diterima, karena kita hanya mau hadir di London dengan mengibarkan Dwi Warna Sangsaka Merah Putih. Alasan yang disebut belakangan inilah juga menyebabkan rencana kepergian beberapa anggota pengurus besar PORI ke London menjadi batal.
Masalah ini dibahas oleh konferensi darurat pada tanggal 1 Mei 1948 di Solo. Mengingat dan memperhatikan pengiriman para atlet dan beberapa anggota pengurus besar PORI ke London sebagai peninjau tidak membawa hasil seperti yang diharapkan, konferensi sepakat untuk mengadakan pekan olahraga, yang direncanakan berlangsung pada bulan Agustus/September 1948 di Solo. PORI ingin menghidupkan kembali Pekan Olahraga yang pernah diadakan ISI pada tahun 1938, terkenal dengan nama ISI sportweek, Pekan Olahraga ISI.
Ditilik dari penyediaan sarana olahraga, Solo dapat memenuhi persyaratan pokok, dengan adanya Stadion Sriwedari serta kolam renang, dengan catatan Sriwedari pada masa itu adalah yang terbaik di Indonesia. Tambahan pula pengurus besar PORI pada saat itu berkedudukan di Solo. Hal-hal demikianlah menjadi bahan-bahan pertimbangan bagi konferensi untuk menetapkan kota Solo sebagai kota penyelenggara Pekan Olahraga nasional Pertama (PON I) pada tanggal 8 s/d 12 September 1948. Maksud dan tujuan penyelenggaraan PON I adalah untuk menunjukkan kepada dunia luar, bahwa bangsa Indonesia, dalam keadaan darurat di tengah-tengah dentuman meriam, dalam keadaan daerahnya dipersempit sebagai akibat Perjanjian Renville, masih dapat membuktikan, sanggup menggalang persatuan dan kesatuan bangsa, yang berbeda-beda suku dan agamanya, akan tetapi tetap bersatu kokoh dalam Bhinneka Tunggal Ika. (sumber : http://www.koni.or.id)


2. PWI (Persatuan Wartawan Indonesia)
In the beginning of 1946, a few Indonesian journalist starts to discuss about the possibilities to form a journalist organization. This discussion was started in Yogyakarta, which at that time was the national capital of Indonesia.
Those journalist some comes from Jakarta, and worked in some major newspaper; such as, Republikein News, Indonesia News, Voice of Indonesia, LKBN ANTARA; which was the front-end of Indonesian media at the time to face the alliance troops (British and NICA - The Netherlands)
These meetings succeed to form a committee to prepare the founding of a journalist organization. This committee was founded on January 25h 1946. Beside this preparation committee, the congress committee or known as Panitia Permusyawaratan is also formed.
The congress was held in solo on February 9th - 10th 1946, attended by the delegations of Pakubuwono XII, Mangkunegoro VII, Tan Malaka and Soetomo a.k.a Bung Tomo, the journalist, publisher, magazine heads, radio announcers, governments and many more. The Minister of PENERANGAN , the Minister of Defence and Mohammad Tabrani were the speakers on that conference. With a full vote this congress agrees to form a journalist foundation named Persatoean Wartawan Indonesia (PWI) on February 9th 1946 in Solo.
PWI during the years have some great improvement until on May 20th 1975 was declared by the Ministry of Penerangan as the only journalist organization in Indonesia.
The Indonesian President at the time, Soeharto, on the 32nd anniversary of PWI along with the inauguration of the National Press Monument on February 9th 1978 in Solo, said:" PWI was founded only six months after Indonesian Independence, in the middle of the nations' live-or-die struggling. This shown that the journalist was one of the forces there, this is because PWI was born right on the middle of the battle." (Source: www.pwisulut.com)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar