01 April 2009

Tujuan Wisata di Solo

Solo, pada jaman dulu dikenal sebagai salah satu pusat pemerintahan jaman kerajaan Mataram Islam di Jawa. Dan karenanya Solo sangat kaya dengan peninggalan-peninggalan sejarah.
Karena kekayaan warisan sosial, budaya dan kesenian yang dimilikinya Solo yang telah berusia lebih dari 250 tahun dikenal juga sebagai Kota Budaya.
Sebagai 'Kota Budaya' yang menyimpan banyak peninggalan sejarah, Kota Solo banyak dikunjungi wisatawan yang ingin melihat dan menikmati warisan budayanya yang beraneka ragam. Diantaranya warisan budaya kota Solo yang dapat dinikmati adalah:

1. kraton Kasunanan surakarta hadiningrat Kraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat dibangun pada tahun 1745 sebagai ganti ibu kota Kerajaan Mataram di Kartasura yang

hancur akibat pemberontakan orang-orang Cina melawan kekuasaan Susuhunan Paku Buwono II yang bertakhta di Kartasura (Geger Pacinan) pada tahun 1742.
Tugu Pamandengan
Titik akses utama menuju Keraton Surakarta dari arah utara sesungguhnya adalah Tugu Pamandengan. Tugu ini terletak sekitar 300 meter ke arah utara dari gerbang utama keraton yang disebut Gapura Gladag, tepat di depan Balaikota Surakarta saat ini.
Tugu Pamandengan berfungsi sebagai titik fokus pandangan Sri Susuhunan Pakubuwono ketika beliau duduk sinewoko di tempat yang ditinggikan di Bangsal Pagelaran. Memfokuskan pandangan pada Tugu Pamandengan terutama bagian puncaknya, dipercaya sebagai salah satu sarana meditasi yang sangat kuat bagi Sri Susuhunan Pakubuwono.

Gapura gladhaG
Lurus ke arah selatan dari Tugu Pamandengan terdapat satu gapura besar yang berfungsi sebagai pintu gerbang pertama memasuki kawasan keraton dari arah utara, gerbang ini dinamakan Gapura Gladhag. Gapura ini dibangun pada tahun 1913 M dan diperbaiki pada tahun 1930 M. Gapura Gladhag dihiasi dengan 48 motif dan 48 garis yang membentuk pagar, sebagai tanda peringatan ulang tahun Sri Susuhunan Pakubuwono X.
Di depan gapura, di sebelah kiri dan kanannya, berdiri dua buah arca kembar besar. Arca yang berwujud raksasa ini dinamakan Arca Pandhito Yakso, yang dibuat di Pandansimping Klaten.
Pada jaman dahulu tempat di belakang Gapura Gladhag dipergunakan sebagai tempat mengekang binatang-binatang hasil perburuan sebelum disembelih. Makna simbolis yang ada di area Gladhag adalah manusia yang ingin mendapatkan kekuatan fisik dan spiritual harus mampu menahan dan mengekang hawa nafsu.
Sebelum memasuki alun-alun utara kita melewati lagi gapura yang kedua dan ketiga, yang dinamakan Gapura Pamurakan, tempat ini dihiasi dengan motif dekorasi api dan matahari. Di tempat ini dulu dilakukan pemotongan hewan hasil perburuan seperti babi hutan, menjangan dan lain-lain untuk dibagikan pada rakyat. Tempat penyembelihan yang disebut Centheng dan berusia lebih dari 500 tahun, masih dapat ditemui sampai sekarang. Makna simbolis dari area ini adalah manusia harus mampu menahan/ membunuh emosi dan amarah.
Di sebelah selatan Gapura Pamurakan ditanam pohon beringin. Yang di sebelah kiri diberi nama Weringin Wok, yang artinya perempuan, sedangkan yang di sebelah kanan diberi nama Weringin Djenggot yang artinya laki-laki. Kedua pohon beringin ini pada jaman dahulu dipergunakan sebagai tempat istirahat prajurit Bang Wetan dan Bang Kulon.

2. Pura Kadipaten Mangkunegaran Puro Mangkunegaran dibangun pada tahun 1757, dua tahun setelah dilaksanakan Perundingan Gijanti yang isinya membagi pemerintahan Jawa menjadi Kesultanan Yogyakarta dan Kasunanan Surakarta. Kerajaan Surakarta terpisah lagi setelah Raden Mas Said memberontak.

Pamedan
Puro Mangkunegaran dibangun pada tahun 1757, dua tahun setelah dilaksanakan Perundingan Gijanti yang isinya membagi pemerintahan Jawa menjadi Kesultanan Yogyakarta dan Kasunanan Surakarta. Kerajaan Surakarta terpisah setelah Pangeran Raden Mas Said memberontak dan akhirnya atas dukungan Sunan lahirlah Perjanjian Salatiga yang isinya Pangeran Raden Mas Said diperkenankan mendirikan kerajaan sendiri. Raden Mas Said memakai gelar KGPAA Mangkunegoro I dan membangun wilayah kekuasaannya di sebelah barat tepian sungai Pepe di pusat kota yan sekarang bernama Solo.
Puro Mangkunagaran yang sebetulnya awalnya lebih tepat disebut sebagai tempat kediaman pangeran daripada istana, dibangun mengikuti model keraton tetapi bentuknya lebih kecil. Bangunan ini memiliki ciri arsitektur yang sama dengan kraton, yaitu pada keberadaan pamedan, pendopo agung, paringgitan, dalem ageng dan keputren, yang seluruhnya dikelilingi oleh tembok yang kokoh.
Seperti halnya bangunan utama di Kraton Surakarta dan Kraton Yogyakarta, Puro Mangkunegaran mengalami beberapa perubahan selama puncak masa pemerintahan kolonial Belanda di Jawa Tengah. Perubahan ini tampak pada ciri dekorasi Eropa yang popular saat itu.
Begitu memasuki pintu gerbang utama pura tampaklah Pamedan, yaitu suatu lapangan luas tempat berlatih prajurit pasukan Mangkunegaran. Di sebelah timur lapangan pamedan dapat dijumpai bangunan bekas kantor pusat pasukan berkuda pura Mangkunegaran, yang disebut Gedung Kavaleri.

3. Baluwarti
Di luar tembok kedhaton (tembok yang mengelilingi Kraton) Kasunanan Surakarta terdapat komplek bangunan yang dihuni oleh para pangeran, kerabat, abdi dalem pria dan wanita, disamping juga ada orang-orang yang melakukan pekerjaan bebas, misalnya berdagang. Wilayah ini di sebut Baluwarti (berasal dari kata Portugis Baluarte yang artinya benteng), merupakan lingkaran kedua, terletak diantara dua buah tembok besar berukuran tebal 2 meter dan tinggi 6 meter.
Wilayah ini mempunyai dua buah pintu, yaitu Kori Brajanala (Gapit ) utara dan Kori Brajanala (Gapit) selatan, satu dengan lainnya dihubungkan oleh dua jalur jalan yang sejajar dengan tembok kedhaton. Pada awal tahun 1900 Susuhunan Pakubuwana X memperluas wilayah Baluwarti dan menambahnya dengan dua buah pintu Butulan yang terletak di sebelah tenggara dan sebelah barat daya. Masing-masing diresmikan pada tahun 1906 M dan pada tahun 1907 M.
Dengan adanya dua pintu tambahan ini penduduk yang tinggal di Baluwarti dapat lebih leluasa berhubungan dengan masyarakat di luar komplek kedhaton.
Untuk dapat mengenal status penghuni sebuah rumah di Baluwarti, kita dapat memperhatikan bentuk rumah dan alat perlengkapannya. Secara umum rumah di Baluwarti dapat diklasifikasikan sedikitnya menjadi tiga kelompok. Pertama, tipe rumah Jawa lengkap berbentuk Joglo dengan pendapa, peringgitan, dalem ageng, ditambah dengan deretan rumah di kanan dan kiri, bahkan kadang-kadang juga di depan bangunan utama. Tipe rumah ini pada umumnya didirikan di halaman yang luas, dikelilingi oleh tembok yang cukup tinggi dan diberi regol ditengahnya. Kelompok kedua adalah tipe rumah Jawa berbentuk Limasan dan kelompok ketiga adalah bentuk Kampung serta bentuk lain yang lebih sederhana.
Pada umumnya rumah-rumah di Baluwarti termasuk tipe rumah sederhana. Disebelah utara, barat dan selatan di ketemukan beberapa saja dengan tipe pertama yang dihuni oleh golongan strata atas.
Penduduk yang tinggal di daerah Baluwarti dalam beberapa hal terikat pada peraturan-peraturan tertentu, misalnya hubungan mereka dengan masyarakat di luar Kori Brajanala, yang juga disebut Kori (lawang) Gapit, lebih terbatas, karena kori itu antara pukul 23.00 dan 05.30 ditutup. Selain itu apabila memasuki Baluwarti mereka harus menaati peraturan-peratuaran tertentu. Sampai pada abad XX penduduk Baluwarti walaupun berada di rumahnya sendiri, tidak diperkenankan duduk di kursi. Apabila ke luar rumah untuk suatu keperluan kecil pun, meraka harus menganakan pakaian yang rapi sesuai dengan kedudukan mereka. Mereka juga dilarang membunyikan gamelan.
Tidak seluruh tempat pemukiman di Baluwarti dipakai sebagai tempat kediaman secara pribadi. Ada beberapa yang diperuntukkan bagi kepentingan keraton, misalnya di sebelah barat Kori Brajanala Lor terdapat rumah penjagaan Dragorder, yang di kalangan penduduk dikenal sebagai Dragunder, berikutnya Mesjid Suranata dan tempat kereta raja.
Disebelah timur Kori Brajanala Lor itu terdapat Paseban Kadipaten, rumah penjagaan prajurit, dan di sebelah timurnya lagi terdapat Sekolah Ksatriyan. Di depan sekolah ini terletak Gedung Sidikara.
Di kanan dan kiri Kori Kemandhungan terdapat tempat kereta dan halaman depan kori itu, yang disebut Balerata atau Maderata, merupakan tempat untuk naik dan turun dari kereta.

4. Kampung batik Laweyan
Jika anda kurang tertarik dengan wisata makanan dan politik, datanglah ke Solo untuk wisata sejarah. Nikmatilah eksotisme kawasan kota tuanya.
Salah satu kawasan kota tua yang ada di Solo adalah Laweyan, yang baru saja dicanangkan sebagai Kampung Batik. Arahnya, dari Pasar Klewer, pusat perdagangan batik terbesar di Indonesia yang makin semrawut dan panas, lurus ke arah barat sekitar 3 kilometer.
Di sinilah Anda bisa menelusuri kawasan kota tua yang dibangun pada era kejayaan saudagar batik pribumi sejak akhir abad ke-19.
Di kawasan Laweyan ada Kampung Laweyan, Tegalsari, Tegalayu, Batikan, dan Jongke, yang penduduknya banyak yang menjadi produsen dan pedagang batik, sejak dulu sampai sekarang. Di sinilah tempat berdirinya Syarekat Dagang Islam, asosiasi dagang pertama yang didirikan oleh para produsen dan pedagang batik pribumi, pada tahun 1912.
Bekas kejayaan para saudagar batik pribumi tempo doeloe yang biasa disebut 'Gal Gendhu' ini bisa dilihat dari peninggalan rumah mewahnya. Di kawasan ini, mereka memang menunjukkan kejayaannya dengan berlomba membangun rumah besar yang mewah dengan arsitektur cantik.
Kawasan Laweyan dilewati Jalan Dr Rajiman, yang berada di poros Keraton Kasunanan Surakarta - bekas Keraton Mataram di Kartasura. Dari Jalan Dr Rajiman ini, banyak terlihat tembok tinggi yang menutupi rumah-rumah besar, dengan pintu gerbang besar dari kayu yang disebut regol. Sepintas tak terlalu menarik, bahkan banyak yang kusam. Tapi begitu regol dibuka, barulah tampak bangunan rumah besar dengan arsitektur yang indah. Biasanya terdiri dari bangunan utama di tengah, bangunan sayap di kanan-kirinya, dan bangunan pendukung di belakangnya, serta halaman depan yang luas.
Dengan bentuk arsitektur, kemewahan material, dan keindahan ornamennya, seolah para raja batik zaman dulu mau menunjukkan kemampuannya untuk membangun istananya, meski dalam skala yang mini. Salah satu contoh yang bisa dilihat adalah rumah besar bekas saudagar batik yang terletak di pinggir Jalan Dr Rajiman, yang dirawat dan dijadikan homestay Roemahkoe yang dilengkapi restoran Lestari.
Tentu saja tak semuanya bisa membangun "istana" yang luas, karena di kanan-kirinya adalah lahan tetangga yang juga membangun "istana"-nya sendiri-sendiri. Alhasil, kawasan ini dipenuhi dengan berbagai istana mini, yang hanya dipisahkan oleh tembok tinggi dan gang-gang sempit. Semangat berlomba membangun rumah mewah ini tampaknya mengabaikan pentingnya ruang publik. Jalan-jalan kampung menjadi sangat sempit. Terbentuklah banyak gang dengan lorong sempit yang hanya cukup dilewati satu orang atau sepeda motor.
Tapi di sinilah uniknya. Menelusuri lorong-lorong sempit di antara tembok tinggi rumah-rumah kuno ini sangat mengasyikkan. Kita seolah berjalan di antara monumen sejarah kejayaan pedagang batik tempo doeloe. Pola lorong-lorong sempit yang diapit tembok rumah gedongan yang tinggi semacam ini juga terdapat di kawasan Kauman, Kemlayan, dan Pasar Kliwon. Karena mengasyikkan, menelusuri lorong-lorong sejarah kejayaan Laweyan yang eksotis ini bisa menghabiskan waktu. Apalagi jika Anda melongok ke dalam, melihat isi dan keindahan ornamen semua "istana" di kawasan ini.
Tapi sayangnya satu per satu bangunan kuno yang berarsitektur cantik, hancur digempur zaman, digantikan ruko atau bangunan komersial baru yang arsitekturnya sama sekali tidak jelas. Pemerintah daerah setempat tak bertindak apa pun menghadapi kerusakan artefak sejarah ini. Bahkan bekas rumah Ketua Sarekat Dagang Islam H. Samanhoedi, yang seharusnya dilindungi sebagai saksi sejarah, sudah tidak utuh lagi, bagian depannya digempur habis. Bekas istana Mataram di Kartasura juga dibiarkan hancur berantakan.
Padahal secara yuridis sudah ada UU No. 5/1992 tentang Benda Cagar Budaya, yang merupakan pembaruan atas Monumenten Ordonantie No. 19/1931 (Staatsblad 1931 No. 238), yang mengatur perlindungan terhadap bangunan/situs bersejarah dan cagar budaya. Maka luangkan waktu untuk menikmati eksotisme kawasan kota tua Solo. Mumpung belum hancur semuanya.

5. Pasar Antik Triwindhu
Pasar Triwindu adalah pasar barang antik yang cukup lengkap dan nyaman. Pasar yang terletak di Jl. Diponegoro, sekitar 100 m dari gerbang Pura Mangkunegaran ini memiliki kios-kios mungil yang menyediakan berbagai benda antik, mulai dari koin-koin kuno hingga porselen Cina yang sudah berusia ratusan tahun dengan penataan yang bebas dan tidak kaku. Berbagai perhiasan, wayang dan topeng juga dapat Anda temukan di pasar yang dari depan tampak tidak terlalu menarik perhatian ini.
Gerbang Pasar Triwindu (Pasar Windu Jenar) ini memang sangat sederhana dan tidak terlalu mencolok, hanya terlihat seperti gapura untuk memasuki sebuah gang kecil. Namun begitu tiba di dalam, mata dijamin akan langsung kegirangan karena begitu banyak benda-benda unik yang tersaji. Selain benda antik, tak jarang benda baru yang dikondisikan menjadi tuapun dapat ditemukan di Triwindu. Pembeli memang diharapkan teliti dan memiliki pengetahuan tentang barang antik ketika berbelanja di pasar ini atau berbelanja bersama orang yang mengerti tentang barang antik.
Tawar-menawar adalah hal yang sangat wajar untuk dilakukan di sini. Sekali lagi, perhatikan dan perkirakan usia benda yang ingin dibeli. Kalau memang benda tersebut antik, jangan memberikan penawaran yang terlalu rendah. Salah satu hal yang paling menyenangkan ketika berbelanja di Pasar Triwindu adalah Anda diberikan keleluasaan untuk melihat-lihat, berkeliling dan menjatuhkan pilihan, tanpa diburu-buru oleh si penjual.

6. Museum Radyapustaka
MUSEUM yang berada di Kawasan Taman Sriwedari Solo ini, dulunya bernama Paheman Radyopustoko. Dari arti katanya, paheman berarti institusi atau lembaga, radyo adalah bangsa atau negara, sedangkan pustoko adalah pusat reverensi."Maka kalau dimaknai secara keseluruhan, kurang lebih artinya lembaga ilmu pengetahun semacam LIPI. Hanya, yang ini milik Keraton Surakarta dan sudah ada jauh sebelum kemerdekaan," tandas Mufti Rahardjo, Kurator museum tersebut, kemarin.
Menurutnya, Paheman Radyopustoko didirikan oleh KRA Sosrodiningrat IV pada 25 Oktober 1890. Sosrodiningrat adalah Pepatihdalem dari Sampeyandalem Ingkang Sinuhun Kanjeng Susuhunan (SISKS) Paku Buwono (PB) IX, Raja Keraton Surakarta Hadiningrat yang berkuasa antara tahun 1861 hingga tahun 1893.
"Awalnya Paheman Radyopustoko itu tidak di sini tempatnya, tetapi di Dalem Kepatihan yang sekarang menjadi Kantor Kejaksaan Negeri Surakarta dan sebagian lagi digunakan untuk sekolah menengah kejuruan negeri (SMKN) 8 Surakarta. Baru pada 1 Januari 1913, lembaga keraton itu dipindah ke Sriwedari," tuturnya.
Mufti mengatakan, Paheman Radyopustoko itu tidak hanya museum dan perpustakaan. Bahkan, menurut dia, museum dan perpustakaan tersebut sekadar pelengkap. Sebab, justru yang lebih penting lagi tentang kegiatan pusat studi. "Ada semacam diskusi atau sarasehan yang selalu diselenggarakan. Materi bersifat umum, mulai dari sastra, seni, sejarah, budaya hingga pengetahuan umum," ujarnya.
Ketika pindah ke Sriwedari, fungsi pusat studi itu masih berjalan dengan baik. Bahkan untuk kegiatan pusat studi tersebut, dulu disediakan dua paviliun yang terletak di sebelah barat dan timur museum. Di sebelah barat sekarang menjadi Graha Wisata, sementara disebelah timur dibangun Pujasari. Ketika masih menjadi paheman, yang mengelola adalah para abdi dalem keraton. Begitupun setelah Negara RI terbentuk, keraton masih turut terlibat. Meskipun, kemudian juga dibantu oleh yayasan (terbentuk beberapa tahun setelah kemerdekaan) dan juga pemerintah.
Namun mulai era 1960-an dan 1970-an, dengan mulai berkurangnya para pengurus paheman yang disebabkan meninggal dunia, lama-lama tinggal museum dan perpustakaan yang tersisa. Museum dan perpustakaan itulah yang masih bertahan hingga sekarang. Radyopustoko pun kemudian berubah menjadi museum umum, yang memiliki beberapa koleksi. Antara lain arkeologia seperti arca batu dan perunggu, keramika dari eropa tiongkok ataupun nusantara; tosan aji yang berupa benda-benda pusaka, naskah, nunismatika atau mata uang kuno, etnografika atau peralatan hidup zaman dulu; dan juga historika atau benda-benda sejarah (sumber: Wisnu Kisawa - Suara Merdeka).

7. museum batik kuno danarhadi
Museum Batik Kuno Danar Hadi menempati bekas bangunan klasik campuran Jawa dan Eropa yang dikenal sebagai Ndalem Wuryaningratan, di tepi Jalan Slamet Riyadi, Solo. Menurut pengusaha batik Danar Hadi yang juga pemilik museum, Santosa Dullah, museum yang mulai direnovasi tahun 1999 itu kini memiliki koleksi batik kuno dari berbagai corak dan gaya yang bernilai tinggi, seperti Batik Keraton, Batik Belanda, Batik Cina, Batik Hokokai, Batik Indonesia, dan Batik Saudagaran. Jumlah koleksinya mencapai 10.000 potong, di antaranya diperoleh dari Museum Troupen, Belanda. Museum Batik Kuno Danar Hadi itu diresmikan Wapres Megawati Soekarnoputri, pada tanggal 20 Oktober 2000.
Museum ini bisa terwujud, selain didasari oleh kecintaan pendirinya, Santosa Dullah, pada batik, tentu karena dari sebuah museum orang bisa belajar. Sedangkan menyangkut kepentingan praktis, bagi seorang pengusaha batik seperti Danar Hadi, museum ini bisa dimanfaatkannya sebagai referensi dalam membuat kreasi-kreasi baru. Dengan ketelatenan yang luar biasa ia mengumpulkan berbagai kain batik kuno dari tangan pertama maupun kolektor, baik dari dalam maupun luar negeri. Kain batik yang menjadi koleksi museum ini tentu tergolong langka, berkualitas, dan tidak diproduksi lagi secara umum.
Dari sekitar 10.000 potong koleksi batik yang berhasil dikumpulkan dalam kurun 30 tahun lebih, 1.500 potong di antaranya diperoleh dari koleksi pribadi seorang kurator Museum Troupen, Belanda. Batik-batik itu berangka tahun pembuatan antara 1840-1910. Tak diperoleh angka pembelian untuk koleksi asal Belanda tadi.
Hanya diperoleh keterangan bahwa untuk sepotong kain batik kuno rata-rata berharga sekitar Rp 2 juta. Bahkan untuk koleksi Batik Wonogiren milik pengusaha Batik Trisni di Solo mencapai Rp 5 juta. Itu sekadar petunjuk tentang nilai yang relatif dari sebuah karya seni. ANGKA-angka rupiah itu akan makin tak berarti bila dihadapkan pada sejumlah koleksi batik yang digolongkan pada Batik Keraton. Sejumlah kain batik kuno dengan motif khusus menempati satu ruang di bagian dalam yang cukup luas. Di ruangan yang didesain dengan atmosfer aristokrat ini, terpajang puluhan potong kain batik yang amat langka.
Batik-batik itu pada zamannya hanya dibuat khusus untuk para raja atau bangsawan tinggi setingkat adipati dan pangeran. Pada masa itu, batik-batik dengan motif-motif khusus tersebut merupakan batik sengkeran yang dilarang keras dikenakan oleh orang awam. Larangan yang dikeluarkan raja itu menimbulkan efek psikologis bahwa batik dengan motif seperti Parang Barong, Udan Liris, Semen Ageng, Semen Gurda mengandung sifat magis dan sakral.
Koleksi-koleksi itu sebagian diperoleh langsung dari empat istana di Solo dan Yogyakarta; yakni Keraton Kasunanan Surakarta, Keraton Kasultanan Yogyakarta, Pura Mangkunegaran serta Pura Pakualaman. Salah satu contohnya adalah kain batik milik Sri Susuhunan Paku Buwono X (1893-1939), batik dengan motif Ceplok Dempel yang langka ini konon ageman dalem (busana raja.
Ada beberapa kain koleksi PB X dipajang di satu sudut dengan foto diri Raja Surakarta itu beserta permaisuri GKR Hemas (putri dari HB VII). Di sudut lain, sejumlah kain koleksi Pura Mangkunegaran yang sebagian merupakan karya tulis (alm) Nyi Ageng Mardusari, salah seorang selir KGPAA Mangkoenagoro VII yang dikenal sebagai pesinden dan pembatik ulung. Karya batik Nyai Mardusari seperti Bogas Pakis memang amat elok, begitu pula karya KRAy Mangunkusumo, Gragah Waluh. Atau koleksi lain seperti Parang Sarpa. Warna soga-nya yang kekuningan dipadu dengan motif yang berlatar kebiruan menghasilkan nuansa yang mengesankan. Nuansa soga pada setiap istana memiliki ciri masing-masing. Batik Kasunanan cenderung coklat kemerahan, Batik Kasultanan coklat dan kontras dengan latar putihnya, sedang Batik Pakualaman cenderung krem.
Adapun sejumlah kain koleksi dari Keraton Kasultanan Yogyakarta serta Pakualaman menempati sudut yang lain. Di antaranya kain kemben liris koleksi permaisuri Sri Sultan Hamengku Buwono VII, serta batik Lereng Huk dari Pura Pakualaman.
Ada pula koleksi kain Dodot yang khusus dikenakan untuk busana tari Bedhaya Ketawang. Kain dodot biasanya berukuran panjang 4,5 meter dengan lebar 2,25 meter. Motifnya disebut alas-alasan yang menggambarkan isi hutan, dengan bentuk stilisasi (hewan dan tumbuhan) yang sederhana. Warnanya hijau polos, sedang lukisannya menggunakan bahan perada emas.
BAGI kalangan pecinta batik, atau mereka yang mampu mengapresiasi keindahan di balik batik, koleksi-koleksi di museum tersebut niscaya tak ternilai harganya. Apalagi bila dipahami bahwa dari sebuah artefak, kita bukan hanya menikmati aspek estetika melainkan juga nilai arkeologisnya. (diringkas dari: http://batikindonesia.info/category/batik-plus)

8. City Walk, Tempat "Srawung" Warga Solo
Kalau kita berjalan-jalan ke kota Solo sekarang ini, kita akan melihat kosmetik baru yang mempercantk wajah kota Solo. Banyak proyek-proyek pertamanan yang dikerjakan pemda setempat yang akhirnya membentuk public space, ruang milik bersama bagi penghuni kota untuk beraktivitas, bersantai maupun bersosialisasi. Salah satu proyek paling prestisius yang dikerjakan adalah proyek menyulap sisi selatan jalan protokol utama Jl Slamet Riyadi, yang sebelumnya merupakan jalur lambat menjadi pedestrian panjang untuk pejalan kaki, yang disebut Solo City Walk.
Solo city walk adalah sebuah proyek mercusuar pemda yang dilandasi pemikiran untuk mengangkat potensi Solo yang ada dan tumbuh dengan slogan Solo past as Solo future. Proyek ini bertujuan hendak mengembalikan ruang publik yang pernah ada dalam aktivitas masyarakat Solo dimasa lampau. Nilai-nilai adiluhung kota Solo tidak serta merta dapat dimasukkan dalam city walk yang ada karena kondisi sosial-kultural masyarakat masa kini yang beraneka ragam juga harus diperhatikan. Hal ini penting agar kehadiran city walk yang ingin metonjolkan sisi romantisme Solo dimasa lampau bisa menyatu dengan kebijakan pengembangan lain yang dilakukan pemda maupun pihak swasta.
Koridor jalan protokol Slamet Riyadi yang dipilih mempunyai banyak titik-titik menarik yang sangat mendukung perencanaan city walk Jalur wisata mulai dari Stasiun Purwosari berujung di kawasan benteng Vastenburg dan Pasar Gede, dipenuhi bangunan-bangunan heritage yang beberapa masih tegak berdiri. Dijalur ini dapat dijumpai pusat perbelanjaan modern, kawasan konservasi Sriwedari, Museum Radya Pustaka, Museum Batik Kuno Danarhadi, Kawasan Ngarsopuran Mangkunegaran, Kampung Kauman (yang saat ini juga dicanangkan sebagai salah satu kampung wisata batik di Solo yang juga menawarkan wisata suasana religius Islam yang kental), Gladhag, Alun-Alun Utara, Masjid Agung Solo, kawasan keraton Kasunanan, benteng Vastenburg, yang kemudian dapat dilanjutkan ke pasar tradisional Pasar Gede.
Saat ini sisi selatan Jalan Slamet Riyadi telah mengalami perubahan berupa penataan kawasan pedestrian dengan jalur hijau dan jalur pejalan kaki. Pedagang kaki lima yang keberadaannya berusaha dihilangkan atau diposisikan sebagai pihak yang terpinggirkan di kebanyakan kota-kota besar di Indonesia, diberi tempat-tempat khusus dan diberikan sarana berjualan yang seragam dan rapi. Pemda menyadari bahwa keberadaan mereka merupakan salah satu unsur unik yang memerlukan proses kebijakan untuk penataan dan juga memiliki hak untuk memanfaatkan kota sebagai publik domain. Salah satu potensi unik Solo yang sudah jarang dijumpai di Indonesia dan kebetulan juga terletak di sisi selatan Jalan Slamet Riyadi adalah keberadaan rel trem sebagai sarana transportasi, jika keberadaan rel trem ini diberdayakan kembali sebagai penunjang City Walk dapat dipastikan Solo city walk merupakan city walk yang paling unik karena satu-satunya city walk yang tiap waktu tertentu dilalui oleh kereta. Jangan lupakan juga keberadaan becak sebagai sarana transportasi tradisional kota. Luar biasa.
Keberadaan jalur hijau yang lebar disepanjang koridor Jalan Slamet Riyadi juga menjadi salah satu potensi yang telah disulap menjadi salah satu elemen penunjang yang sangat menarik. Jalur ini telah berubah menjadi taman kota yang dilengkapi tempat duduk cantik yang berfungsi sebagai tempat singgah untuk beristirahat, menikmati kesejukan dan keindahan bunga, jogging atau berolahraga. Satu hal yang dirindukan oleh masyarakat kota. Atau lakukan rekreasi edukatif melaui informasi historikal yang dapat dijumpai di museum Radya Pustaka yang saat ini keberadaannya sebagai museum tertua mulai terlupakan atau museum Batik Kuno Danarhadi.
Lebarnya pedestrian, taman yang tertata rapi dan fasilitas penunjang lainnya yang memadai, membuat kawasan ini menjadi lokasi yang ideal untuk dilakukannya festival-festival seni. Festival Nasi Liwet dan Solo Art Festival adalah contoh festival-festival yang telah memanfaatkan keberadaan kawasan ini.
Yang harus juga diingat oleh pemda Solo, bukan hanya pembangunan fisik yang harus dilakukan untuk mengembangkan Solo sebagai solo's past as solo's future tetapi juga unsur non fisik yakni keberadaan warga Solo yang akan turut mendukung keberadaan city walk ini. Pola pikir masyarakat yang terbentuk agar mencintai kotanya sebagai Heritage City dan kesadaran masyarakat akan potensi historis kotanya akan berpengaruh langsung dalam mewujudkan image yang ingin ditampilkan. Perlu proses panjang memang yang melibatkan berbagai pihak apalagi di tengah hiruk pikuk pro kontra yang masih bermunculan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar